Selasa, 29 April 2008

DiGiBOOK Hadir pada Peringatan Hari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sedunia ke-8 di FH-UI Depok.

Kamis, 24 April 2008, Roadshow pertama DiGiBOOK di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Di hari pertama ini banyak sekali yang harus dipersiapkan, terutama dalam hal internet connection. Kami berpikir yang namanya kampus, pasti hotspot areanya bebas dan siapa saja yang berada di lingkungan kampus pasti bisa memakainya.

Tetapi berbeda dengan kampus yang satu ini, untuk bisa menggunakan hotspot, kami harus mengurus setting IP nya terlebih dahulu di kantor dekan UI, yang jaraknya lumayan jauh. Setelah bisa menggunakan hotspot tersebut, kami baru mulai menjalankan tugas masing-masing.

Indri dan Rita, bertugas untuk mencari mahasiswa yang berminat menjadi member DiGiBOOK. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menjelaskan tahapan proses registrasi member, serta benefit dan keunikan membaca buku digital.

Sedangkan Gia bertugas memberikan penjelasan ke mahasiswa yang sudah datang ke Stand DiGiBOOK (cara membuka Web DiGiBOOK serta fitur-fitur yang terdapat pada Web DiGiBOOK). Sedangkan Rachmad bertugas untuk mengawasi orang yang berlalu lalang di sekitar Stand DiGiBOOK, yach berjaga-jaga untuk keamanan barang-barang yang kita bawa.

Kira-kira jam 11.00 WIB, Kami diminta oleh panitia untuk menghadiri Seminar HKI (Hak Kekayaan Intelektual) di aula Fakultas Hukum UI tersebut. Berikut sekilas rincian seminar yang kami peroleh selama mengikuti acara tersebut :

HKI lebih dari Sekedar Pengamanan Hukum.

Berbagai instrumen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) harus dipahami oleh para pencipta karya sebagai alat utama yang bermanfaat untuk mengamankan ciptaannya, terutama apabila akan digunakan untuk tujuan komersialisasi. Melalui HKI, diberikan jaminan hukum yang memadai (tentu apabila diikuti dengan kapasitas pranata penegak hukumnya) yang melindungi kepentingan pencipta.

Namun melihat realitas Indonesia saat ini, saya rasa HKI harus diartikan lebih jauh dari sekedar tindakan pengamanan. HKI harus diartikan sebagai wujud apresiasi, penghargaan, setiap manusia, termasuk pencipta (produsen) dan penikmat ciptaan (konsumen) atas nilai dari ciptaan yang dihasilkan tersebut. Harus dimaknai bahwa dengan timbulnya kesadaran akan HKI (bahwa di dalam suatu ciptaan melekat hak cipta, desain industri, merek, ataupun instrument HKI lainnya), timbul pula kesadaran masyarakat akan potensi (ekonomis) yang sangat besar dari ciptaan tersebut.

Kita tidak membutuhkan orang lain untuk menilai ciptaan-ciptaan domestik. Jangan sampai kondisi seperti industri pertambangan terjadi lagi pada industri-industri berbasis intelektual di Indonesia. Kita pun bisa menghargai hasil ciptaan anak bangsa dengan menghormati HKI yang terkandung di dalamnya.


Selesai seminar kami kembali lagi ke Stand, namun tidak seperti yang dibayangkan bahwa yang namanya kampus, seharusnya mahasiswanya antusias sekali dengan stand-stand yang ada di lingkungan kampusnya. Tapi mahasiswa di sini tidak seantusias yang kami bayangkan. Yach maklumlah, mungkin mereka sedang sibuk Ujian Tengah Semester (UTS).

Sewaktu diberikan gambaran mengenai DiGiBOOK, mereka berpikiran kalau DiGiBOOK itu adalah penjualan laptop mini, sampai-sampai mereka menanyakan harga, tipe dan merk laptopnya, (apa karena kita membawa laptop yach???). Setelah kita menjelaskan panjang lebar tentang DiGiBOOK, barulah beberapa dari mahasiswa di sini bertanya soal legal/tidaknya Buku Digital ini. Yach maklumlah mereka kan abis ikut seminar HKI.

Tetapi ada juga yang bertanya mengenai buku-buku hukum, buku-buku pelajaran dan ada saja pertanyaan-pertanyaan yang lainnya. Tetapi syukurlah, kami bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan. Ada juga yang memberi saran untuk Web DiGiBOOK, agar menu pencarian ada di setiap halaman web, supaya tidak bolak-balik ke menu utama, sarannya kita tampung yach…

Bazar di kampus ini sepi, padahal ada begitu banyak stand yang mengelilingi kampus mereka (kurang lebih ada 25 stand, yang berkategori makanan, minuman, pakaian, asesories, sepatu & sandal, produk kecantikan, kartu telepon sampai dengan penjualan handphone).

Di hari pertama ini member yang kami dapat tidak sesuai dengan target. Kami berharap di kedua bisa lebih banyak lagi mahasiswa yang mengunjungi Stand DiGiBOOK dan mau bergabung sebagai DiGiBOOK Member.

Jum’at, 25 April 2008, hari kedua kami ikut pameran. hari ini kami berusaha semaksimal mungkin untuk menarik dan memikat mahasiswa, supaya datang mengunjungi Stand kami. Mahasiswa di sini sudah mulai tahu kalau Stand DiGiBOOK adalah Stand Buku-Buku Digital dan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga buku fisik toko buku.

Di hari kedua ini, kami kebanyakan demo dan menjelaskan cara login dan membuka Web DiGiBOOK sampai dengan proses beli dan aktivasinya secara detail. Namun hotspot UI yang kami gunakan sebagai akses untuk connection internet sangat tidak bisa diandalkan. Sehingga cukup menghambat kami untuk demo melalui internet langsung, sampai-sampai kami harus menggunakan modem IM2 dan WiMode untuk bisa akses internet lagi.

Hari kedua ini ternyata sama saja sepinya dengan hari yang pertama.

Sabtu, 26 April 2008, hari ketiga dan terakhir kami di kampus UI Depok ini pindah stand ke tempat yang bernama Balairung UI Depok. Tempatnya berada agak jauh dari Fakultas Hukum. Ditempat ini kami berharap mahasiswa akan lebih banyak, karena di sini semua mahasiswa dari semua Fakultas UI akan berkumpul untuk menyaksikan band-band yang akan pentas dan juga dihadiri oleh beberapa bintang tamu, seperti fungky kopral, ipang BIP, dan band cokelat.

Namun lagi-lagi kenyataan dilapangan jauh di luar dugaan kami. Ternyata sama saja dengan hari-hari sebelumnya. Mahasiswa yang hadir tidak sebanyak yang kami bayangkan. Ada group band yang terkenal saja, mahasiswanya tidak ramai untuk melihat acara tersebut, apalagi jika tidak ada group bandnya.He he he….. Mungkin juga batalnya kehadiran Habiburrahman El Shirazy - penulis novel ayat-ayat cinta, merupakan faktor utama sepinya event kali ini.

Tapi biar bagaimanapun kami tetap berusaha untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin…lumayan dari event kali ini DiGiBOOK mendapat tambahan lebih dari 200 member...





Sabtu, 05 April 2008

Membaca Novel di LAPTOP

Menggandeng para penerbit, Digibook.com rajin membuat buku versi digital dengan harga hemat.

“Dunia sungguh tak adil.” Begitulah yang ada di pikiran Arifin. Lelaki yang tinggal di balik Bukit Parung Kuda, Sukabumi, itu begitu menginginkan buku-buku bermutu, seperti Barack Obama, Laskar Pelangi, atau Jeff Bezos, pendiri Amazon.com. Tapi apa daya, kota itu terlalu kecil untuk disinggahi toko buku yang memajang buku-buku baik.

“Susah cari buku di sini.” Kata Arifin mengeluh.

Untunglah, keluhannya itu kini terjawab. Bukan lantaran di kota itu kini telah hadir toko buku bermutu, melainkan karena ia kini bisa membeli buku elektronik (e-book) secara online untuk dibaca di komputer.

Buku-buku elektronik itu bisa diakses lewat situs http://www.digibookgallery.com. Banyak penerbit yang sudah bekerja sama membuat buku elektronik, di antaranya Grup Mizan, Ufuk Press, bahkan penerbit cerita silat Wastu Laras Grafika juga ikut.

Mizan Group adalah salah satu contoh penerbit yang bersemangat menggarapnya. Perusahaan dengan sederet penerbit di bawah payungnya itu telah menyiapkan sekitar 80 buku elektronik.

Maret nanti, kata Putut Widjanarko, Vice President Operations Mizan Publika – divisi Mizan yang menangani segmen new media, seperti e-book, novel di telepon seluler, dan talking book – koleksi buku elektronik Mizan akan mencapai 100 buku. Buku Grup Mizan yang sudah disulap menjadi buku elektronik di antaranya Laskar Pelangi, Agar Anak Anda Tertular Virus Membaca, Barack Hussein Obama, dan Hermawan Kartajaya on Brand, The Road to CEO.

“Jadi buku Mizan bisa dibaca dari mana saja.” Kata Putut.

Upaya Mizan menerbitkan e-book ini sebenarnya telah dirintis sejak 2001. Saat itu mereka merilis buku elektronik yang gratis diunduh di situs Ekuator.com. Ternyata penggemar buku elektronik cukup banyak. “Server kami sampai down.”

Kesuksesan itulah yang kini mengilhami Mizan menggandeng Digibook. Buku-buku elektrobik itu bisa diunduh lewat situs http://www.digibookgallery.com. Buku elektronik ini menggunakan format khusus, bukan format PDF ala Acrobat Reader, sehingga sulit dibajak. Software pembaca bukunya disediakan gratis.

Harganya? “Dijamin lebih hemat,” kata Putut. Rata-rata harganya separuh dari buku versi cetak. Novel Laskar Pelangi, misalnya, versi digitalnya dijual seharga Rp.28.800. Bandungkan dengan edisi cetaknya, yang mencapai Rp 48 ribu.

Buku yang sudah dibeli, kata Putut, hanya bisa dipasang di satu komputer. Lalu bagaimana kalau komputer crash? “Ya, hilang. Anggap saja seperti beli buku biasa, lalu jatuh ke got,” ujar Putut.

Bagi penulis buku elektronik, ini juga sebuah tantangan baru. Mizan, misalnya, menurut Putut, berani menawarkan royalti yang bisa berbeda dengan edisi cetak. “Wah, ini benar-benar tawaran menarik,” kata Onno W. Purbo, pakar Internet yang telah menulis 10 buku.

Bakal berhasilkah langkah Digibookgallery.com ini? Putut tak bisa memberikan gambaran. Namun, kata dia, era konvergensi media kini telah tiba. Layar monitor atau LCD kini telah berkembang luar biasa hebatnya. Sampai-sampai ada peranti pembaca buku elektronik, seperti Kindle keluaran Amazon.com, yang bisa dibaca di bawah sinar matahari terik.

“Saat peluncuran Kindle, hanya dalam waktu lima setengah jam laku terjual,” kata Putut. Ia buru-buru menambahkan, penjualan buku elektronik di Indonesia mungkin belum sedahsyat itu, tapi demam seperti itu bakal segera tiba. Burhan

Koran Tempo edisi XXII, Jumat, 22 Februari 2008

Rabu, 02 April 2008

E-Book di Bak Mandi? BISA!

Chris Steib mungkin cuma seorang bujangan di New York, Amerika Serikat, yang kebetulan menjadi anggota gather.com, sebuah website jejaring sosial semacam friendster.com. Tapi di halamannya di website itu, melalui posting berjudul “The Ultimate eBook Experiment: Reading in the Bathtub”, dia dengan telak, walau juga mengundang gelak, menepis salah satu wujud keraguan terhadap buku elektronik atau e-book; bahwa e-book bisa dibaca sambil berendam di bak mandi, sedangkan buku konvensional justru mustahil.

Semua itu, menurut pengantar yang Steib tulis, bermula dari pernyataan Margaret Atwood, novelis dan penyair dari Kanada, dalam satu forum di London Book Fair tentang apa yang dia pandang sebagai kelemahan terbesar e-book. Berbeda dengan “buku reguler”, kata Atwood, e-book tak bisa dibaca sambil berendam di bak mandi. Steib memutuskan untuk mengakhiri “teori” itu. Dia mengacu Sony Readernya yang masih gres dengan satu edisi The Crying of Lot 49, novel karya Thomas Pynchon, di lingkungan yang “Bu Atwood begitu berani menyebut sebagai domain sebenarnya dari buku kertas – bukan digital”.

Steib tentu tak mau mengambil risiko Sony Reader-nya rusak karena air. Dia memanfaatkan plastik pembungkus untuk melindungi Sony Reader-nya maupun novel Pynchon. Dengan sederet foto, Steib menunjukkan betapa Sony Reader tetap berfungsi sebagai mestinya sekalipun dalam keadaan terbungkus plastik; dia bisa memilih buku yang dibaca dan membalik-balik halamannya. Sebaliknyalah yang terjadi dengan novel Pynchon: dalam keadaan terbebat plastik, mana mungkin orang bisa membalik-balik halamannya?

Banyak orang yang berpandangan seperti Atwood. Dalam kenyataannya, kita mungkin juga cenderung begitu. Atau, paling tidak, kita akan berpendapat sebagaimana halnya kebanyakan orang bahwa buku adalah sesuatu yang mesti kita terima apa adanya; ia memang temuan yang menakjubkan, yang dirancang dengan sempurna, terus berfungsi, dan bermanfaat sepanjang masa tanpa petunjuk penggunaan dan... ya, baterei. Dengan kata lain, sebagai sebuah temuan, buku sudah begitu sempurna, yang tak mungkin dibuat lebih baik.

Namun, tentu saja, ada pula orang-orang lain yang “senakal” Steib. Dalam wujud lain, semangat Steib ada pula dalam diri Jeff Bezos, pemilik toko buku terbesar di dunia maya, Amazon.com. Dia cinta buku, sebagai profesional maupun pribadi – dia termasuk pembaca buku yang rakus, dan istrinya adalah seorang novelis. Walau begitu, dia punya keyakinan bahwa akan tiba saatnya buku pun bakal melebur ke dalam gelombang digitalisasi, mengikuti jejak musik, video, dan bacaan dalam format pendek.

Menurut dia, untuk menyongsong masa itu hanya diperlukan layanan yang tepat. Layanan yang dimaksud adalah perangkat yang bukan saja berfungsi sebagai reader atau pembaca buku-buku berformat digital, melainkan juga mampu melakukan fungsi-fungsi lain yang merupakan perbaikan dari buku konvensional dan hal-hal di luar itu yang merupakan perbaikan dari buku konvensional dan hal-hal di luar itu yang merupakan kemungkinan-kemungkinan baru. Dia punya solusi, yakni perangkat bernama Kindle, yang mulai dijual pada November 2007.

Sebagai reader, Kindle bukan satu-satunya. Sony Reader, di antaranya, sudah lebih dulu ada. Bisa dipastikan, para pendahulu Kindle bakal berusaha keras untuk mengejar ketinggalan, dengan memasang kemampuan-kemampuan baru yang sebelumnya tidak ada. Tapi, apa pun yang mereka lakukan, e-book memang merupakan keniscayaan. Hanya tinggal waktu saja. Buku konvensional? Mungkin hanya para kolektor saja yang kelak membelinya.


koran tempo, edisi 48, maret 2008