Rabu, 02 April 2008

E-Book di Bak Mandi? BISA!

Chris Steib mungkin cuma seorang bujangan di New York, Amerika Serikat, yang kebetulan menjadi anggota gather.com, sebuah website jejaring sosial semacam friendster.com. Tapi di halamannya di website itu, melalui posting berjudul “The Ultimate eBook Experiment: Reading in the Bathtub”, dia dengan telak, walau juga mengundang gelak, menepis salah satu wujud keraguan terhadap buku elektronik atau e-book; bahwa e-book bisa dibaca sambil berendam di bak mandi, sedangkan buku konvensional justru mustahil.

Semua itu, menurut pengantar yang Steib tulis, bermula dari pernyataan Margaret Atwood, novelis dan penyair dari Kanada, dalam satu forum di London Book Fair tentang apa yang dia pandang sebagai kelemahan terbesar e-book. Berbeda dengan “buku reguler”, kata Atwood, e-book tak bisa dibaca sambil berendam di bak mandi. Steib memutuskan untuk mengakhiri “teori” itu. Dia mengacu Sony Readernya yang masih gres dengan satu edisi The Crying of Lot 49, novel karya Thomas Pynchon, di lingkungan yang “Bu Atwood begitu berani menyebut sebagai domain sebenarnya dari buku kertas – bukan digital”.

Steib tentu tak mau mengambil risiko Sony Reader-nya rusak karena air. Dia memanfaatkan plastik pembungkus untuk melindungi Sony Reader-nya maupun novel Pynchon. Dengan sederet foto, Steib menunjukkan betapa Sony Reader tetap berfungsi sebagai mestinya sekalipun dalam keadaan terbungkus plastik; dia bisa memilih buku yang dibaca dan membalik-balik halamannya. Sebaliknyalah yang terjadi dengan novel Pynchon: dalam keadaan terbebat plastik, mana mungkin orang bisa membalik-balik halamannya?

Banyak orang yang berpandangan seperti Atwood. Dalam kenyataannya, kita mungkin juga cenderung begitu. Atau, paling tidak, kita akan berpendapat sebagaimana halnya kebanyakan orang bahwa buku adalah sesuatu yang mesti kita terima apa adanya; ia memang temuan yang menakjubkan, yang dirancang dengan sempurna, terus berfungsi, dan bermanfaat sepanjang masa tanpa petunjuk penggunaan dan... ya, baterei. Dengan kata lain, sebagai sebuah temuan, buku sudah begitu sempurna, yang tak mungkin dibuat lebih baik.

Namun, tentu saja, ada pula orang-orang lain yang “senakal” Steib. Dalam wujud lain, semangat Steib ada pula dalam diri Jeff Bezos, pemilik toko buku terbesar di dunia maya, Amazon.com. Dia cinta buku, sebagai profesional maupun pribadi – dia termasuk pembaca buku yang rakus, dan istrinya adalah seorang novelis. Walau begitu, dia punya keyakinan bahwa akan tiba saatnya buku pun bakal melebur ke dalam gelombang digitalisasi, mengikuti jejak musik, video, dan bacaan dalam format pendek.

Menurut dia, untuk menyongsong masa itu hanya diperlukan layanan yang tepat. Layanan yang dimaksud adalah perangkat yang bukan saja berfungsi sebagai reader atau pembaca buku-buku berformat digital, melainkan juga mampu melakukan fungsi-fungsi lain yang merupakan perbaikan dari buku konvensional dan hal-hal di luar itu yang merupakan perbaikan dari buku konvensional dan hal-hal di luar itu yang merupakan kemungkinan-kemungkinan baru. Dia punya solusi, yakni perangkat bernama Kindle, yang mulai dijual pada November 2007.

Sebagai reader, Kindle bukan satu-satunya. Sony Reader, di antaranya, sudah lebih dulu ada. Bisa dipastikan, para pendahulu Kindle bakal berusaha keras untuk mengejar ketinggalan, dengan memasang kemampuan-kemampuan baru yang sebelumnya tidak ada. Tapi, apa pun yang mereka lakukan, e-book memang merupakan keniscayaan. Hanya tinggal waktu saja. Buku konvensional? Mungkin hanya para kolektor saja yang kelak membelinya.


koran tempo, edisi 48, maret 2008



Tidak ada komentar: